Senin, 26 Desember 2011

Sepakbola Indonesia di Bawah Kolonialisme Kekuasaan Politik

Sebelum Reformasi tahun 1998, sepakbola kami ( Indonesia, bukan Jakarta, Bandung atau Papua ) selalu dipimpin oleh seorang yang terkait dengan Departemen Perhubungan yang kebetulan kader partai golongan penguasa, setidaknya mulai dari pasca era Kardono, Pemerintah selalu menempatkan Menteri Perhubungan sebagai Ketua PSSI, tercatat ada Azwar Anas dan Agum Gumelar Menteri Perhubungan yang menjabat sebagai Ketua PSSI. Ada juga Kardono, Direktur Jenderal Perhubungan Udara yang menjadi Ketua PSSI yang sangat populer.
Sejak Soeratin di tahun 1930 sampai dengan Kosasih di tahun 1967, sepakbola dibangun dengan semangat perjuangan dan bagian dari proses pembangunan karakter bangsa. Setelah Rezim Orde Lama jatuh, PSSI juga mengalami perubahan mengikuti arus zaman. Masuknya orang yang dekat dengan penguasa saat itu, Soeharto menjadi bagian dari proses pengamanan PSSI. Kenapa harus diamankan ? karena hanya sepakbola yang dapat memancing dan mengumpulkan histeria massa sampai puluhan ribu selama satu tahun penuh jadi harus terkondisikan terkendali.
Dimulailah era militer, Bardosono (1975 – jatuh karena penyimpangan dana PSSI ), Moehono ( 1977 - Pjs ) dan Ali Sadikin ( 1977 – mereformasi PSSI termasuk skema kompetisi ).
Di tahun 1982, seiring dengan reformasi yang di gagas Ali Sadikin, muncullah tokoh Sjarnoebi Said pemilik Klub Krama Yudha Tiga Berlian, klub peserta Galatama kompetisi profesional murni pertama Indonesia yang menjadi contoh negara lain di Asia membangun kompetisi sepakbolanya. Kenapa murni ? karena pada saat itu klub galatama benar – benar di biayai oleh swasta. Saat itu kompetisi kita terbagi menjadi dua kasta – Profesional dan Amatir.
Di Galatama yang murni profesional dimulai sejak tahun 1979 di era Ali Sadikin, klub peserta memang tidak banyak pada saat itu hanya 8 klub saja tapi dikelola dengan sangat baik, tercatat sampai kemudian Galatama di bubarkan ada 40 buah klub profesional ( non perserikatan / amatir ) yang pernah berkiprah Galatama. Sayang pasca Sjarnoebi Said, galatama kehilangan pamor karena kasus suap dan pengaturan skor yang dilakukan pemain dan klub.
Sebelum era galatama, Pemain Nasional Indonesia didominasi oleh para pemain perserikatan, di era galatama pemain perserikatan yg amatir praktis kesulitan masuk menjadi pemain nasional, tercatat hanya Robby Darwis, Ponirin Meka, Ribut Waidi, Patar Tambunan, Adjat Sudrajat sedikit pemain perserikatan yang bisa berbaju merah putih.
Di era Azwar Anas ( era 90-an) dilakukan terobosan dengan membubarkan semua penyelenggaran kompetisi baik amatir maupun profesional dengan menggabungkan semuanya dalam satu Liga Indonesia, lalu mulailah kita akrab dengan nama – nama seperti Liga Dunhill, Liga Kansas, Liga Mandiri sampai Liga (Djarum) Super —— jadi ngeh kalau olahraga populer ini disponsori oleh produsen rokok bertahun - tahun, kenapa ? karena produsen rokok jadi bisa jualan kepada klub sepakbola dan pengemar / supporter sepakbola ,  ini namanya tidak  men sana in corpore sano :D
Apakah penggabungan ini menganut azas fairness ( keadilan ) ? TIDAK …..Klub yang berlaga di Galatama tetap dipaksa mandiri dengan dana swasta sedangkan Klub Perserikatan ( yang mayoritas hari ini berada di kasta tertinggi liga ) tetap di injeksi dengan dana negara melalui APBD. Mengapa bisa begitu ?
Kita harus membuka mata bahwa klub perserikatan selalu menjadi organ politik penguasa daerah, makanya klub perserikatan selalu diketuai oleh penguasa daerah baik gubernur, bupati atau walikota, yang kebetulan di jaman orde baru adalah organ dan kepanjangan tangan serta menjadi kader Partai Golongan Penguasa. Kekuatan Kekuasaan tidak akan melepaskan sumber – sumber pencitraan berbasis massa, itulah mengapa kemudian sejak masa orde baru sebenarnya sepakbola kita berada dalam MASA KEKUASAAN KOLONIALISME POLITIK.
Bagaimana sepakbola diamankan selalu berada di tangan Kekuasaan Kolonialisme Politik tergambar jelas ketika pertarungan antara Nurdin Halid yang tokoh Golkar melawan Jacob Nuwawea yang tokoh PDIP di kongres tahun 2003.
Jacob Nuwawea yang Menteri Perhubungan di era Megawati diusung oleh kekuatan daerah dimana PDIP menjadi pemenang dan penguasa politik pasca pemilu 1999 selain itu Jacob di usung oleh kelompok yang sudah mencium gelagat akan terjadi proses politisasi PSSI pasca reformasi 1998. Saat itu dengan konsep yang sebenarnya briliant, - termasuk pemberian hak suara kepada klub dan ide kompetisi yang lebih baik serta konsep pembinaan usia dini yang terskema -, Jacob Nuwawea tidak berdaya dengan kekuatan yang membangun isu politik ( Golkar vs PDIP ), ras ( Jawa vs Luar Jawa ) bahkan isu sensitif soal agama ( Islam vs Nasrani ). Jika yang mengalami hadir di kongres tersebut dapat merasakan bagaimana atmosfir panas saat itu dan Jacob akhirnya kalah dan merasakan bagaimana opportunisnya pengurus PSSI dan Klub saat itu.
Kemenangan Nurdin saat itu diikuti dengan proses pembersihan ( kawan saya menyebutkan ‘kuningisasi’ ) di struktur Pengda, Pengcab dan Klub. Kepala Daerah yang sudah tidak boleh menjadi Ketua Klub mengambil peran sebagai ketua Pengcab atau Pengda. Jadi kalaulah di struktur PSSI pusat dikesankan lebih berwarna dengan masuknya unsur – unsur non kuning, tapi sesungguhnya di struktur daerah, warna kuning masih tetap mendominasi . Bukankah pengurus PSSI pusat itu tidak memiliki hak suara di Kongres ? ini adalah proses pengamanan kekuasaan.
Prestasi sepakbola di era Nurdin Halid selama 8 tahun yang tidak membaik bahkan cenderung memburuk ditutupi dengan riuh – rendahnya Liga yang digulirkan, harapannya biarlah supporter asik masyuk dengan riuh rendah mendukung klubnya – bahkan diciptakan intrik sehingga antar supporter memiliki kebencian satu kelompok dgn yang lainnya – dengan harapan menutupi bobrok yang sedang dilakukan oleh Nurdin Halid dkk dan ini sukses sampai kemudian muncullah gagasan seorang Presiden SBY tentang Kongres Sepakbola Nasional. Di titik inilah harusnya momentum perbaikan sepakbola Indonesia dilakukan yang sayangnya tidak terjadi.
Kenapa tidak terjadi, karena kita melihat tatanan ‘kolonialisme’ di dalam sepakbola kita sudah bagaikan jaring laba-laba yang kuat yang memiliki ketergantungan satu dengan yang lainnya.
Blunder AFF lah yang menyebabkan Rezim Kolonialisme itu terguncang, kalaulah saja ketika AFF tidak ada jamuan makan sebelum final di rumah salah satu petinggi parpol, kalaulah saja tidak ada ucapan terima kasih kepada parpol tertentu dari mulut ketua PSSI saat itu dan kalau saja Team Nasional PSSI saat itu menjadi Juara AFF, kekuatan kolonialisme sepakbola akan semakin kuat menancapkan kuku kekuasaannya di sepakbola kita.
Sadar bahwa kekuasaan mulai digoyang, Kelompok Kolonialisme Sepakbola ini mulai merancang skema pengamanan dimulai dengan Kongres Tahunan 2010 di Bali yang beberapa keputusannya adalah bom waktu yang disimpan untuk meledak pada waktunya ( pembagian saham, soal operator liga, soal klub dll ) dilanjutkan dengan skenario kisruh Kongres PSSI di Pekanbaru sampai kepada skenario pembentukan Komite Normalisasi, disetiap momentumnya dibuat perangkap, jebakan, bom waktu dan skema untuk proses penyelamatan diri ditahap pertama dan kembali berkuasa untuk tahap selanjutnya.
Itulah mengapa saya pernah menulis soal komite normalisasi, ya komite ini tidak menyelesaikan pekerjaanya yang menjadi amanat FIFA. Ada satu amanat FIFA yg sengaja disimpan menjadi bom waktu yaitu soal normalisasi kompetisi di Indonesia pasca munculnya Liga Primer Indonesia. Komite Normalisasi hanya fokus pada bagaimana memilih ketua PSSI, padahal ada amanah besar yang juga harus diselesaikan yaitu soal normalisasi kompetisi. Mengapa tidak bisa di selesaikan ? mungkin kita bisa tanyakan kepada Djoko Driyono – pengelola liga super Indonesia – yang saat itu menjadi Sekertaris KN dan ex-officio menjalankan fungsi Sekretaris Jenderal.
Bom Waktu yang lain adalah menyusupkan kaki tangan di dalam barisan perubahan untuk kemudian menjadi sel yang berada di dalam yang dapat diaktifkan pada saatnya untuk melakukan serangan mematikan.
Saya sempat menaruh harapan kepada PSSI baru dibawah Djohar Arifin ketika memulai pembenahan dengan melakukan pembenahan di dalam rumah. Terutama ketika akan menerapkan standar profesional yang benar sesuai dengan standar AFC bagi klub di Indonesia. Tapi kemudian terjadi langkah – langkah kompromistis yang dilakukan oleh beliau dengan kekuatan lama dengan nama pengurus klub, exco dan pengda.
Di momentum inilah kemudian kita bisa melihat bagaimana kelompok kolonialisme sepakbola Indonesia kembali membuka topeng dan berkumpul merapatkan barisan. Kita melihat bahwa sepakbola Indonesia seolah – olah hanya boleh dikelola, dinikmati bahkan dirusak oleh hanya satu kelompok. Mungkin pengurus PSSI yang sekarang harus belajar kepada Ali Sadikin yang membenahi PSSI di tahun 1977.
Ketika itu ada keinginan untuk kompromi terkait dengan penyelesaian ketidak beresan di tubuh PSSI dijaman Bardosono, tapi apa langkah yang ditempuh Ali Sadikin sebagai Ketua PSSI baru – semua penyimpangan harus diselesaikan melalui jalur hukum dan pengadilan -, tidak ada kompromi.
Oleh karena itu mengapa kemudian saya sempat berkicau di TL saya @gilang_mahesa mengenai pentingnya membenahi dahulu rumah ( PSSI, PT. LI, Klub dan Pengda ) sebelum melakukan aktivitas  ( kompetisi ). PSSI harusnya menetapkan dulu bahwa saat ini adalah kondisi darurat yang harus di normalisasi terkait dengan pekerjaan rumah yang tidak terselesaikan ( atau sengaja tidak diselesaikan ) oleh KN dan pengurus sebelumnya.
PSSI harusnya membuat aturan perantara terkait banyak hal yang mungkin terkait dengan proses normalisasi, baik yang berupa kompetisi atau organisasi. PSSI mungkin harusnya membuat moratorium penghentian sementara liga profesional tapi tetap mengelar kompetisi antar klub Piala Liga yg tidak bisa diselenggarakan oleh PT. LI di tahun 2011 ini. Dengan demikian tidak ada polemik soal kompetisi dan semua klub bisa berpartisipasi.
PSSI bisa sampaikan ke AFC dan FIFA bahwa saat ini sedang dilakukan proses pembenahan dan normalisasi sepakbola Indonesia, hal ini dilakukan agar kita tidak terkena sanksi oleh AFC dan FIFA karena tidak memutar roda kompetisi reguler.
Jadi ini bagian dari #idegila saya melihat begitu mengkhawatirkannya sepakbola kita :
  1. Hentikan dahulu semua kompetisi sepakbola di Indonesia
  2. Putar turnamen yang memungkinkan semua klub bisa berpartisipasi semodel Piala Liga sebagai kompetisi antara selama masa Normalisasi berlangsung
  3. Periksa, Audit dan laporkan ke publik penggunaan dana PSSI, PT. LI dan klub selama 8 tahun terakhir atau sekurang-kurangnya 3 tahun terakhir, terutama penggunaan dana yang terkait uang negara – APBD dan APBN, berani nggak yah ?
  4. Proses di point 3 dilakukan oleh auditor independen international untuk menjaga netralitas
  5. Jika kemudian ditemukan penyimpangan maka dipersilahkan KPK, BPK, Kepolisian untuk masuk dan memeriksa – ditahap ini pengurus klub, pengurus PSSI dan pemain harus berani menjalani pemeriksaan , beranikah untuk bersih dan jujur ?
  6. Jika sudah ada putusan hukum yg mengikat, maka pembenahan bisa dilakukan baik kepada individu atau institusi, klub yg menyelewengkan uang negara bisa saja di hukum turun strata atau bahkan di bubarkan, pengurus dan pemain bisa saja dihukum tidak boleh beraktivitas di dunia sepakbola nasional
  7. Bangun sepakbola dengan kultur yang benar, dengan standar yang sudah ditetapkan FIFA dan AFC – jangan lagi ada kompromi - , mungkin nanti klub yg ikut kompetisi profesional PSSI tidaklah sebanyak hari ini, tapi menjadi sehat dan kompetitif serta membangun pondasi yang bukan hanya kuat ke masa depan tapi juga bersih.
  8. Untuk menghadapi Piala AFF 2012 dan Sea Games 2013, ikut sertakan Garuda Muda kita di Kompetisi Liga Singapura yang memungkinkan klub diluar Singapura untuk menjadi peserta, dengan demikian persiapan Team nasional kita tidak terganggu oleh proses normalisasi yang sedang dilakukan.
Tulisan ini adalah opini saya pribadi, bisa benar atau malah ‘nggak waras’ sama sekali :D, masing-masing memiliki opini dan pendapat dan saya menghargai ruang tersebut.
Perubahan format kompetisi, pengelola kompetisi, pengelola klub bahkan pengurus federasi adalah hal biasa yang pernah dialami oleh sepakbola kita sejak tahun 1930. Menjadi tidak biasa ketika kemudian ada hidden agenda yang sedang disembunyikan – apakah terkait agenda politik 2014, atau soal uang, wallahu’alam –, kalaulah kemudian apa yang terjadi hari ini tidak membawa apa – apa bagi prestasi sepakbola Indonesia kita di tahun selanjutnya, mungkin #idegila saya tadi bisa menjadi pilihan.
Pasca Sjarnoebi Said, sepakbola kita tidak bisa lepas dari politik kekuasaan, saatnya memerdekakan sepakbola kita dari kekuasaan kolonialisme politik lebih kurang 3 dasawarsa lamanya.
Wallahu’alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar